Nilai Absurditas yang Selalu Ditampilkan Dalam Bukber

Budaya tidak mungkin muncul dari goa yang tak berpenghuni, budaya atau culture dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.

Seperti halnya beberapa budaya yang menyelimuti di bulan Ramadhan, dalam penyambutannya warga Jawa Barat menyambut bulan Ramadhan dengan istilah munggahan. Secara filosofi Munggahan dapat diartikan sebagai prosesi penyambutan bulan puasa yang penuh kemuliaan.

Namun dalam kegiatannya munggahan tidak begitu formal, kegiatannya bervariasi seperti berkumpul dengan keluarga, makan bersama atau botram dan biasanya ziarah ke makam keluarga (nyekar). Apalagi selain itu, dalam munggahan kamu bahkan menemukan kegiatan makan bareng.

Menjelang pertengahan bulan puasa biasanya kita mendapatkan banyak undangan bukber (buka bersama) yang menurut saya agenda ini adalah absurditas hidup di bulan Ramadhan. Bagaimana tidak undangan bukber begitu meluap, dari mulai teman SD-SMA, teman Universitas, teman kerja dan bahkan undangan dari beberapa organisasi.

Menghadiri bukber seperti halnya membaca buku Mite Sisifus karya Albert Camus, nilai absurditas ditampilkan sedemikian rupa dalam kegiatan bukber, seperti situasi tak terdamaikan antara nalar manusia dengan realitas kehidupan. Sejatinya menurut Camus, manusia tak pernah benar-benar mengenali dirinya apalagi dunia yang ditinggalinya bahkan setelah bertahun-tahun.

Secara umum, tradisi bukber merupakan salah satu bentuk interaksi mutualisme yang terjadi antara orang-orang di dalamnya. Namun dalam pelaksanaannya secara tidak sadar interaksi itu hanya terjadi sesama teman dekat atau yang hanya punya kedekatan secara emosional, ajang silaturahmi keseluruhan itu hanya ada di sambutan awal setelahnya ya hanya kebisingan dan obrolan sesama teman dekat.

Orang introvert model saya sudah merasakan ngerinya menghadiri agenda bukber, membaur di keramaian, lalu-lalang juga kebisingan dan banyak ocehan sampah yang sering kali saya temui di dalam bukber. Hal itu membuat saya ingin melepaskan kepala saya sendiri agar kebisingan serta ocehan sampah segera keluar dari benak saya.

Selain garing dan absurd, bukber yang diadakan oleh kerabat dekat menurut saya tidak tepat sasaran. Undangan bukber yang sering kita hadiri berbanding terbalik dengan prinsip dasar puasa. Bukber sekarang seperti EO (Event Organizer) resmi yang bersponsor, rundown acara jelas, makanan enak, dan tempatnya rumah makan/café bahkan bisa lebih mewah dari itu.

Nilai absurditasnya adalah orang yang menghadiri acara bukber itu orang yang secara ekonomi memang sudah mampu. Kenapa kita tidak bukber di pesantren yatim? Atau bukber di masjid dengan agenda sosial?

Sebenarnya saya enggan untuk menyinggung masalah fundamental dalam soal ibadah, namun jika boleh berpendapat bahwa tidak salah jika orang mengatakan bukber adalah meninggalkan shalat tarawih dengan gaya, atau saja melibas yang wajib seperti maghrib dan isya? Ah bodo amat, urusan ibadah ya itu pribadi.

Keabsurdan lainnya adalah ajakan dengan nada memaksa untuk jadi pelengkap saat bukber, shit! Menolak sehalus apapun pasti dibalas dengan kalimat ‘ah ga asik’ ya memang lebih baik disebut seperti itu daripada saat di lokasi kita hanya jadi pelengkap, kalo mau lengkap ya nunggu kiamat, biar kita reuni nanti di padang mahsyar.

Tentu hal yang paling ada disetiap agenda bukber adalah ajang pamer pencapaian, pamer outfit bahkan adu nasib. Ketiga topik ini yang mustahil hilang dalam topik obrolan bukber. Ajang pamer memang sifat dasar karena pengakuan adalah kebutuhan dasar manusia sebagai mahluk sosial, predikat/label tersebut sebagai konsekuensi dari kebutuhan manusia.

Dalam suatu komunitas sosial terdapat orang yang superior dan orang yang inferior, biasanya yang superior tidak perlu banyak pembuktian karena sudah berbakat, namun yang inferior biasanya lebih nyaring beriklan dengan tujuan melejitkan reputasi, setidaknya mengimbangi yang superior biar tidak kalah pamor.

Juga hati-hati yang bawa pacar atau bahkan istri/suami saat bukber, nilai absurditas seperti ini yang tidak disangka-sangka muncul dalam kegiatan bukber ‘wisata masa lalu berkedok bukber’. Pulang bukber bukannya happy malah  berantem, kan ngeri.

Namun di balik keabsurdan dalam bukber tentu masih banyak sisi positifnya, bukber memberikan kesempatan bagi setiap orang yang ada di dalamnya untuk saling mendekatkan diri, membuka komunikasi, membangun hubungan baru, mempermudah rezeki, hingga memperpanjang umur melalui silaturahmi.

Menjelang akhir puasa saya belum mendapatkan undangan bukber, asik juga sih tapi… undang dong golbos!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *