“Mengapa kau mengacaukan lautan?” tanya Alexander the Great dengan geram pada sekelompok perompak yang tertangkap olehnya. Para perompak itu kedapatan mengganggu kapal-kapal dagang yang sedang berlayar. Mereka mencuri makanan dan barang berharga lainnya di wilayah jajahan Alexander.
Alexander adalah penakluk dunia dari Makedonia yang lahir pada 365 SM. Ia disebut-sebut sebagai penggerak awal dimulainya masa yang dikenal para sejarawan dengan “Dunia Helenis (Hellenistic World)”. Hal ini menandakan betapa luasnya pengaruh dan wilayah kekuasaan yang dimiliki anak dari Raja Philip II ini.
Tidak takut dengan gertakan Alexander, perompak itu menyergah, “Terus, mengapa kau mengacau keamanan di seluruh dunia?!” Perompak itu melanjutkan, “Hanya karena aku menjarah dengan perahu kecil, kau sebut aku sebagai pencuri. Dan kau yang menghunus perang di seluruh dunia dengan armada kapal yang besar, kau sebut dirimu sebagai Kaisar?!”
Pernyataan si perompak ini merangkum paradoks moral yang melingkupi dunia kuno, mempertanyakan batasan antara keadilan dan kejahatan. Kisah yang memuat percakapan penuh makna antara perompak kecil dengan penakluk besar ini terjadi 300 tahun sebelum Masehi. Sanad dari al-kisah ini diriwayatkan dari perawi bernama Santo Agustinus yang termaktub dalam kitab ‘’Pirates and Emperors’’ (2003) karya Syaikh Noam Chomsky.
Chomsky mengangkat kisah di atas untuk menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam dinamika kekuasaan internasional telah berlangsung sepanjang sejarah hingga saat ini. Kaisar modern seperti negara-negara Barat tidak lagi memakai frasa “pencuri”, tapi mereka dengan mudah menggunakan istilah “teroris” untuk menyebut kelompok yang dianggap mengganggu kepentingan geopolitiknya. Padahal, mereka terutama Amerika Serikat aktif sekali membuat huru-hara dalam berskala global, bahkan melibatkan teknologi senjata canggih yang menyebabkan kematian ribuan orang.
Menurut Chomsky, istilah “terorisme” sebenarnya muncul pada akhir abad ke-18. Istilah ini awalnya digunakan untuk merujuk pada tindakan kekerasan oleh pemerintah yang bertujuan memastikan penghormatan dari masyarakat. Namun, definisi ini tampaknya telah berubah dan lebih sering diarahkan kepada “terorisme eceran” yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Akhir-akhir ini, frasa teroris ini secara ngawur sering kali dialamatkan ke Hamas.
Mengenal Hamas
Hamas, kelompok bersenjata Palestina, mengambil namanya dari singkatan bahasa Arab yang diterjemahkan sebagai “Islamic Resistance Movement” atau Gerakan Perlawanan Islam dalam bahasa Inggris. Selain itu, kata “Hamas” sendiri dalam bahasa Arab memiliki makna “semongkooo!”.
Pada akhir tahun 1970-an, akar-akar berdirinya Hamas dapat ditemukan ketika sekelompok aktivis mendirikan lembaga amal, klinik, dan sekolah di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Langkah filantropis-humanistik ini diambil sebagai respons terhadap pendudukan Israel atas kedua wilayah tersebut pada tahun 1967.
Hamas secara resmi didirikan pada bulan Desember 1987 oleh Sheik Ahmad Yassin setelah pecahnya pemberontakan Palestina yang dikenal sebagai Intifada pertama. Pada tahun berikutnya, Hamas menyatakan bahwa pembebasan Palestina dari pendudukan Israel adalah kewajiban agama setiap Muslim. Kemunculan Hamas dipicu dari kelakuan Israel yang secara aktif melakukan penjajahan.
Hamas melancarkan serangan pertamanya terhadap Israel pada tahun 1989. Mereka menculik dan membunuh dua tentara, yang kemudian menyebabkan penangkapan Yassin oleh Israel. Yassin kemudian dibebaskan pada tahun 1997, sebagai bagian dari pertukaran yang kontroversial dengan agen-agen Mossad yang telah mencoba membunuh kepala biro politik Hamas, Khaled Meshaal, di Yordania.
Hamas memasuki dunia politik pada tahun 2005 dan mendapatkan kemenangan telak dalam pemilihan parlemen tahun berikutnya, mengalahkan saingannya, Fatah. Namun, ketidaksepakatan di antara keduanya mengarah pada konflik bersenjata pada tahun 2006, yang berakhir dengan Hamas menguasai Gaza, sementara Fatah memegang kendali di Tepi Barat.
Seiring berjalannya waktu, sikap Hamas terhadap perlawanan bersenjata mengalami pasang surut. Meskipun terdapat fluktuasi dalam pendekatan taktis, hasrat Hamas untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina tetap menjadi pendorong utama di balik eksistensinya.
Saat ini, Uni Eropa dan Amerika Serikat sebagai Kaisar modern mengklasifikasikan Hamas sebagai organisasi teroris. Menurut Norman Solomin, masyarakat Barat memang telah secara perlahan diarahkan untuk menerima pandangan bahwa penggunaan senjata canggih yang ditembakkan dari udara dianggap sebagai metode paling beradab dalam melakukan perang. Anggapan ini melahirkan persepsi bahwa apa yang dilakukan Israel tidak termasuk dalam kategori terorisme.
Para apologis Zionis menyoroti bahwa Hamas langsung menargetkan warga sipil dan Israel tidak. Namun, bagi warga Gaza sendiri yang menjadi korban—yang terbunuh, terluka, dan teror oleh militer Israel—perbedaan ini hanyalah formalitas. Realitas kehidupan sehari-hari di Gaza menunjukkan bahwa pembantaian warga sipil terus terjadi, dan dampaknya tetap merusak.
Bukan Hamas tapi Palestina
Labeling atau pemberian label memiliki peran sentral dalam politik media. Dan tidak ada label yang lebih kuat daripada “teroris”. Karenanya, semua elemen-elemen kunci Israel, maupun para simpatisannya terus memproduksi mitos bahwa Hamas adalah teroris—jika bukan Nazi. Dengan menciptakan narasi Hamas sebagai kelompok teroris, Zionis Israel dianggap mendapatkan legitimasi moral untuk bertindak lebih agresif.
Peristiwa 7 Oktober 2023 mengguncang masyarakat Israel hingga ke akar-akarnya. Labeing Hamas sebagai kelompok teror semakin menguat. Dalam hitungan jam, Israel meluncurkan serangan udara tanpa henti ke Gaza. Dalam beberapa hari, ratusan ribu anggota cadangan dipanggil untuk bertugas. Dalam beberapa minggu, operasi darat di kawasan tersebut sudah berlangsung.
Israel mengandalkan dua utama argumen utama untuk membenarkan serangan ke Gaza. Pertama, tentara Israel telah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari warga sipil. Tetapi karena Hamas menggunakan mereka sebagai perisai manusia, setiap serangan terhadap Hamas akan merugikan warga sipil tanpa kesalahan Israel. Argumen ini menyiratkan bahwa Israel tidak terbatas dalam tindakan apapun yang diambilnya, seberapa mengerikan konsekuensinya, tetap dianggap sah.
Kedua, Israel menyatakan bahwa telah memberi peringatan kepada semua warga sipil di daerah yang mereka serang untuk mengungsi ke area yang telah ditetapkan sebagai “aman”. Klaim ini tetap saja tidak dapat dijadikan justifikasi pengeboman. Sebab banyak warga sipil yang tetap tinggal di rumah mereka. Ada yang karena tidak dapat mencapai selatan Jalur Gaza; ada pula yang memilih untuk tidak meninggalkan tempat tinggal mereka. Selain itu, bahkan jika warga sipil telah mengungsi, hal ini tidak membenarkan pengeboman tanpa batas terhadap rumah mereka.
Lebih dari dua juta orang saat ini terdesak di selatan Jalur Gaza tanpa tempat lain untuk pergi. Melanjutkan kebijakan pengeboman ini hampir pasti akan mengakibatkan kematian ribuan warga sipil. Dalam keadaan ini, Israel harus segera menghentikan pelaksanaan kebijakan ini, yang menabur lebih banyak kematian dan kehancuran, serta memperburuk bencana kemanusiaan di Jalur Gaza. Jika tidak ingin menghentikan serangan-serangan brutal ini, hal tersebut menandakan bahwa Israel tidak memiliki keinginan serius untuk menumpas jaringan teroris.
Dengan demikian, target utama Israel sesungguhnya bukan Hamas, tapi Palestina. Jauh sebelum Hamas berdiri pada bulan Desember 1987, Israel sudah secara aktif merampas tanah-tanah milik warga Palestina sejak tahun tahun 1948. Munculnya Hamas hanyalah sebagai respon terhadap teror yang dilakukan Israel. Jadi, sejak awal berdirinya, Israel samasekali tidak punya niatan untuk melenyapkan Hamas, tapi mereka ingin menenggelamkan Palestina secara keseluruhan dan permanen.
Semacam Epolog
Kemerdekaan Palestina pasti akan terwujud. Mari kita rawat optimisme ini secara teguh. Sebuah pepatah mengatakan, “kebun bunga bisa dibakar oleh para perompak, tapi tidak ada satu pun yang bisa menghentikan datangnya musim semi.” Meskipun Palestina terus digempur habis-habisan, tapi kemerdekaannya tidak mungkin bisa dihentikan.
From the river to the sea, Palestine will be free!