Akhirnya Muhammadiyah Kena Semprot Wahabi

Kok bisa? Kalimat di atas itu temanku yang bilang. Cukup terngiang-ngiang di kepala saya. Masa sih Wahabi mirip sama Ahmadiyah? Mana mungkin ah. Satunya meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi terakhir; satunya kagak. Dari keyakinan ini saja sudah beda. Apalagi turunan fikih dan ibadahnya.

Kalau kita kasih tahu Wahabi juga mereka gak bakal setuju. Gila aja. Anak kurang kerjaan mana yang menyama-nyamakan Wahabi sama Ahmadiyah. Lha wong disejajarkan sama golongan Islam yang lain aja gak mau, apalagi sama golongan kafir yang gak meyakini Rasulullah Saw sebagai Nabi terakhir. Gengsi dong!

Lama memikirkan ini hingga overthinking di malam hari. Mikir kenceng malam-malam dengan latar suara musik turun air hujan rekaman dari YouTube emang terbaik. Suasananya jadi tenang dan cukup melenakkan. Tetiba terbesit dalam pikiran, “Kira-kira menurut Wahabi rekaman suara hujan ini masuk kategori musik yang diharamkan gak, ya?“

Karena penasaran, saya tutup YouTube dan mulai mencari-cari fakta soal Wahabi. Hasil dari riset kecil-kecilan ini saya dapat satu kesimpulan bahwa mereka bukan gerakan organisatoris yang terstruktur seperti Muhammadiyah dan NU. Aku gatau kenapa mereka gak jadi ormas Islam. Mungkin karena ormas belum ada di zaman Nabi kali ye?

Secara gestur, mereka seakan tidak nyaman disebut sebagai Wahabi. Hasil dari pencarianku soal Wahabi kebanyakan berita soal pencekalan kajian-kajian mereka oleh orang-orang Nahdliyin. Berdasarkan pantauan antropologis-sosiologis-bioetik, warga Nahdliyin kurang suka dengan kajian Wahabi karena karena seringkali secara brutal melontarkan vonis-vonis bid’ah, syubat, bahkan kufur tanpa kendali pada tradisi komunal mereka.

Meskipun dicekal di daerah Nahdliyin, banyak di antara kajian Salafi yang malah diterima kalangan Muhammadiyah. Bahkan warga militan Muhammadiyah beberapa kali melakukan pembelaan. Bukan hanya dibela, mereka juga dikasih panggung dan ruang selebar-lebarnya tuk isi kajian-kajian Salafi. Kalau perlu dijaga sama Kokam biar gak diganggu sama Banser.

Kok bisa mereka diterima di Muhammadiyah? Asumsiku ialah karena Muhammadiyah dan Salafi punya basis ideologi yang sama: pakai slogan ‘kembali kepada al-Quran dan al-Sunah’, gak mau berafiliasi mazhab tertentu, penekanan terhadap ajaran tauhid yang “murni”, dan gak melakukan ajaran mistisisme ala ala Sufi.

Walau begitu, kedua golongan ini juga punya perbedaan. Muhammadiyah cenderung akomodatif dengan perubahan zaman, dan suka mencari titik paling maslahat dalam suatu persoalan (istislah). Sementara Salafi bagiku gak adaptif dengan konteks zaman, dan cenderung suka memilih pendapat yang sulit dengan alasan kehati-hatian (ihtiyat).

Yak, titik perbedaan ini semakin terlihat jelas ketika UAH melontarkan pendapatnya tentang musik. Sejak tahun 2017, UAH dihujani tahdzir oleh beberapa tokoh Salafi dan simpatisannya. Dia dicap sebagai penyebar syubhat; yang terbaru malah dinilai kufur. Badass. Muhammadiyah juga akhirnya kena. Ormas Islam yang kasih panggung bahkan asetnya dimanfaatkan Salafi ini juga gak terhindar dari bidikan hujatan mereka. Wkwkwkw.

NU boleh lebih muda dari Muhammadiyah, tapi mereka jauh lebih berpengalaman. Bertahun-tahun mereka dihujani vonis-vonis mengerikan dari Wahabi. Emmm, mungkin wajar belaka bila kajian-kajian Wahabi dicekal oleh warga Nahdliyin karena sangat potensial menciptakan kemarahan publik. Apa Muhammadiyah perlu meniru-niru tindakan seperti itu? Soalnya dalam sejarahnya, kajian-kajian Ahmadiyah juga pernah dicekal Muhammadiyah.

Jangan-jangan letak persamaan Wahabi dan Ahmadiyah itu ada di sini: Mereka dikasih panggung sama Muhammadiyah, begitu merasa punya sumber daya dan simpatisan militan berbalik arah. Seperti Wahabi, pada awal abad ke-20, kedekatan Muhammadiyah dengan Ahmadiyah juga karena didasari oleh perjuangan yang sama, yaitu: purifikasi akidah, modernisasi ajaran Islam, menggerakkan pendidikan yang kompatibel dengan zaman, dan punya spirit yang sama soal anti kristenisasi yang dibawa kolonial.

Tokoh Ahmadiyah ketika itu, Mirza Ali Ahmad Baig, sangat populer di kalangan pemuda Muhammadiyah. Ia lancar berbahasa Inggris dan Arab, punya minat yang tinggi dengan bahasa Indonesia, punya pengetahuan bagus ihwal studi Islam. Muhammadiyah kasih panggung tokoh Ahmadiyah ini, mengisi kajian di internal Persyarikatan.

Kalau bukan karena kritik yang tajam dari Hadji Rasul tahun 1926, Ahmadiyah mungkin akan berkembang pesat di Indonesia berkat kedekatannya dengan Muhammadiyah. Pasca kritik keras ini, simpatisan Ahmadiyah perlahan-lahan menyusut. Apalagi ketika Majelis Tarjih mengeluarkan fatwa tahun 1929, hubungan Muhammadiyah dan Ahmadiyah semakin menjauh.

Akhirnya rasa penasaranku soal persamaan Wahabi dan Ahmadiyah telah terungkap. Keduanya pernah dekat dengan Muhammadiyah tapi lama kelamaan seakan menjadi parasit. Bedanya: Muhammadiyah akhirnya memutus hubungan total dengan Ahmadiyah, tapi belum ada penegasan yang jelas jika dengan golongan Wahabi.

Karena sudah terjawab, saya mulai tarik selimut waktunya tidur malam. Kunyalakan kembali gemiricik suara air hujan dari YouTube. Begitu mau terlelap, suara azan subuh berkumandang. Waduh. Ternyata semalaman aku begadang. Semoga ini bukan termasuk bagian dari begadang yang tiada artinya.

Selepas salat subuh dan hendak tidur, pintu kontrakan tiba-tiba ada yang mengetuk. Ketika saya buka, yang nongol kepala temanku yang terafiliasi dengan Wahabi. “Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!” katanya lirih.

“Emang gak kenyang seharian menghujat UAH di sosmed?” Kujawab saja begitu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *