Kepala saya masih dilekati dengan stereotipe goblok soal demo. Beberapa waktu yang lalu sebelum saya melakukan dopamin detox, TikTok saya dipenuhi dengan deretan demo mahasiswa di Amerika Serikat. Video-video ini begitu mengharukan sekaligus mengundang rasa penasaran.
Saya ingin sekali merasakan sensasi “jalanan” dalam mendukung Palestina, seperti di Amerika Serikat. Melihat mereka berkerumun rapi sambil nyanyi yel-yel, sensasinya bakal sumringah dan menggugah. Apalagi saat mereka ditangkap aparat keamanan, respon mereka hanya senyum—tanda bahwa aksi seperti ini tidak akan pernah mereka sesali. Keren sekali.
Tapi, sekali lagi, kepala saya masih dipenuhi stereotipe goblok dalam perkara demo.
Merasa terharu karena tampilan video bagus itu kan terjadi di Amerika Serikat, di kampus top global, Universitas Columbia. Beda bangetlah sama sini. Pendemo Indonesia biasanya suka gegayaan artsy sok gembel seperti mahasiswa hipster hari-hari ini. Bila di jalanan terlalu parlente dan flamboyan dianggap kurang rebel. Repot!
Saya jadi ingat seorang teman tidak jadi turun aksi. Bukan karena tidak paham dengan narasi-narasi revolusioner atau tidak membaca buku-buku marxisma-komunisma, tapi karena rambutnya kurang gondrong, gak punya kaos bergambar muka Che Guevara, dan sayang kalau harus nyobekin satu-satunya celana jeans yang ia punya. Jadinya merasa kurang pede.
Dari kejadian ini saya dapati satu pengetahuan dasar dalam dunia mimbar jalanan. Hal ini yang bikin kepala saya sulit keluar dari stereotipe goblok. Pengamatan awam saya sebagai orang yang gak begitu menyukai dunia aktivisme ialah ada standar visual yang mesti ditampilkan dalam setiap demo yang hendak dilakukan. Kalau pakai baju rapi nanti dikira mau shalawatan bareng Habib.
Kesempatan melakukan aksi bela Palestina akhirnya saya dapatkan momentumnya pada hari ini, Ahad, 19 Mei 2024. Kepala saya masih dipenuhi stereotipe goblok soal demo tapi sekaligus penasaran dengan atmosfir “jalanan” dalam mendukung Palestina seperti di kampus-kampus Amerika Serikat. Akhirnya kuputuskan berangkat menuju medan laga.
Selesai sarapan nasi kucing sebagai pondasi bangsa, saya berangkat menuju Nol Kilometer, Yogyakarta, tempat aksi massa berlangsung. Begitu sampai, seperti biasa saya langsung melakukan adegan dewasa: memarkir motor dan membayar sejumlah uang parkir. Berjalan kaki ke arah utara, saya terkejut takjub dengan apa yang saya saksikan.
Di antara kawula muda dari golongan siswa/santri dan mahasiswa, banyak juga orang-orang sepuh dan anak-anak belia yang datang. Jumlahnya mungkin ratusan bahkan ribuan. Mereka berkerumun membawa bendera-bendera Palestina berukuran kecil dengan penuh antusias. Raut wajah mereka terlihat punya harapan besar bahwa kelak Palestina akan merdeka dan terbebas dari israhell laknatullah.
Cara mereka melakukan aksi jelas tidak seperti dunia aktivisme yang selama ini saya bayangkan. Pakaian mereka rapi-rapi. Tidak ada bakar ban dan kepulan asap. Tidak ada dorong-dorongan dengan aparat keamanan. Tapi saya kemudian berpikir cepat, ah, mungkin karena ini aksi bela Palestina, bukan demo tolak penjahat konstitusi dan politik dinasti. Cuaakss.
Saya terus berjalan mendekati pusat suara. Sang orator begitu semangat membara membuat massa semakin antusias. Ia menyampaikan pesan agar jangan sampai bosan mendukung Palestina di sosial media, mengajak untuk memboikot produk-produk pro israhell, berhenti mengikuti selebriti yang mendukung genosida, mengutuk negara-negara yang merugikan Palestina, dan ajakan berdonasi untuk memenuhi kebutuhan harian masyarakat Gaza.
Karena memang jarang ikut aksi, saya jadi terlihat seperti orang udik dan norak. Saya masih malu-malu mengikuti komando yel-yel. Yang lain teriak takbir, saya hanya bisa diam kikuk. Kalau terus begini takut timbul fitnah sebagai mata-mata dari kalangan Zionis Jaksel sok asik. Akhirnya saya sibuk mengamati sekitar, berkeliling-keliling sambil memotre-motret fakta antropologi apa yang nanti bisa saya bagikan di laman sosial media pribadi wkwkw.
Saya kembali takjub dengan aksi ini ketika saya dapati beberapa orang membagikan makanan dan minuman secara cuma-cuma. Wah hebat juga nih tim konsumsi, batinku bilang begitu. “Ini boleh buat saya, Pak? Ambil dua boleh, ya?” tanya saya, agak maruk memang, tapi kemudan si bapak jawab, “Ambil saja, gratis, demi Palestina.” Semangat sekaliii, kubilang.
Ketakjuban saya semakin respek tatkala mendapati tiga orang yang berkeliling membawa karung sampah. Dulu saya berpikir bahwa orang-orang yang telah dicecoki dengan narasi-narasi besar, biasanya luput terhadap hal-hal yang remeh macam buang sampah. Mereka doyan mencari solusi atas permasalahan dunia tapi abai dengan masalah dirinya sendiri. Adanya tiga orang yang minim gengsi inilah yang membikin saya takjub dengan aksi bela Palestina tadi pagi.
Hari-hari ini mungkin sudah lumrah dengan tampilan demo yang seperti ini. Mungkin karena sayanya aja yang mainnya kurang jauh, tidurnya kurang malam. Tapi pengalaman merasakan sensasi jalanan seperti ini cukup membakas di hati. Ada semangat baru untuk terus menunjukkan kepedulian terhadap rakyat Palestina. Ada doa-doa baru yang terus dipanjatkan agar Allah segera melaknat israhell.
Saya kembali ke parkiran motor dengan perasaan yang melegakan. Saya seperti terhubung dengan komunitas Islam lain di seluruh dunia yang sama-sama melakukan aksi solidaritas untuk Palestina. Tapi kemudian di atas motor dalam perjalanan pulang saya bertanya-tanya. “Wahabi kalau aksi bela Palestina kayak gimana, ya? Penasaran.” Begitu sampai rumah, saya buka YouTube, di laman pencarian saya ketikkan dua kata lucu: Wahabi Demo.
Saya kaget ternyata ada. Begitu diputar, dengan nada yang cukup familiar di telinga pembaca sekalian, sang penceramah bilang, “Demonstrasi ini haram, demi Allah!” Haiishhhhh, mending tidur.