Salah satu tokoh dalam Al Quran yang dapat memanfaatkan propaganda ialah Firaun. Penguasa Mesir ini menggunakan bahasa untuk mengaburkan antara kebenaran dan kebatilan. Dalam QS. Ghafir ayat 26, Firaun memobilisasi rencananya untuk melawan Musa dan bangsa Israel dengan terlebih dahulu menciptakan dan menyebarkan kebohongan. Ia menuduh Nabi Musa menyebarkan kekacauan dan penindasan di negeri itu.
Jauh sebelum media modern dan berbagai bentuknya, Firaun paham bahwa memenangkan perang propaganda adalah syarat untuk memenangkan perang di lapangan. Dengan memenangkan opini publik, penindasannya terhadap Nabi Musa dan bangsa Israel akan terabaikan. Kita menjadi saksi atas hal ini, karena kita tahu betul bagaimana kebohongan terang-terangan tentang “senjata pemusnah massal” telah menyebabkan kematian jutaan warga sipil tak berdosa di Irak.
Tidak banyak yang berubah sejak saat itu. Kita terus melihat taktik serupa digunakan dengan narasi seputar konflik di Palestina. Bahasa yang digunakan sepanjang konflik, bahkan sebelum tahun 1948, mengarah pada gambaran bahwa konflik tersebut merupakan perjuangan antara penduduk pribumi yaitu Palestina, dan kekuatan kolonial yaitu Zionis. Namun, bagi saya konflik di Palestina jauh lebih besar, ini harus dipahami secara tegas sebagai konflik agama.
Agama Memotivasi Zionis
Konflik antara Islam dan Zionis dimulai ketika Zionis menyatakan hak bagi orang-orang Yahudi untuk kembali ke tanah air yang dijanjikan. Sejak awal, klaim Zionis didasarkan pada kitab suci agama. Meskipun para pendiri gerakan Zionis modern, seperti Theodor Herzl, menyatakan diri mereka sebagai orang Yahudi “sekuler”, namun masih memiliki keyakinan yang kuat terhadap janji-janji Taurat kepada bangsa Israel.
Pada awalnya, Herzl memilih Argentina. Namun, ketika mempertimbangkan Palestina, ia berkata, “Palestina adalah rumah bersejarah kami yang tak terlupakan. Nama Palestina akan menarik orang-orang kami dengan kekuatan yang luar biasa.” Selain itu, Taurat memuat banyak ayat yang dengan jelas menyatakan janji Tuhan kepada bangsa Israel tentang “Tanah Suci”. Sebagai contoh, seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian 17: 7-8, Tuhan menjanjikan tanah itu kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.
Jelaslah bahwa mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina merupakan bagian integral dari iman dan keyakinan Yahudi, dan sangat penting bahwa negara mereka harus didirikan di wilayah Levant, dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya. Taurat juga merujuk pada batas-batas negara Yahudi, dari Sungai Nil hingga Sungai Efrat, seperti yang dinyatakan dalam Kejadian 15:18.
Janji-janji Alkitab ini menunjukkan bahwa mendirikan sebuah negara di Palestina bukan hanya sebuah ide “pemukim-kolonial”, melainkan sebuah ide yang berakar kuat pada iman. Bahkan selama hari-hari besar Yahudi, seperti Paskah, frasa “Tahun Depan di Yerusalem” sering diucapkan di akhir Seder, pesta ritual yang berlangsung di awal hari raya, yang menyampaikan kerinduan orang Yahudi untuk kembali ke Yerusalem dan Tanah Suci.
Nasionalisme Arab Sebagai Biang Kerok
Bahasa dibentuk oleh persepsi dan ide yang kemudian membentuk pandangan dunia. Bukan hanya bagaimana kita berkomunikasi dengan orang lain, tetapi bahasa juga membangun kepercayaan kita. Bahasa yang menggambarkan penjajahan Israel atas Palestina mulai-mula sebagai konflik “Arab-Israel”. Beberapa tahun kemudian menjadi: “negara Palestina-Israel”. Setelah itu, berubah menjadi: “orang Palestina-Israel”. Saat ini yang berkembang menjadi konflik “Hamas-Israel”.
Selama ini, media secara konstan dan sengaja memperketat lingkaran di pihak Palestina. Dimulai dari Arab kemudian menyempit jadi Hamas. Perhatikan juga bahwa narasi telah berubah dari “negara Palestina” menjadi “orang Palestina” (Palestine to Palestinians). Hal ini juga disengaja, dilakukan untuk menghapus gagasan negara Palestina dan mereduksinya menjadi sekelompok penduduk pribumi yang menentang negara Israel yang sudah berdiri.
Pada realitanya, dasar dari perjuangan ini adalah antara dua ideologi yang saling bertentangan, yaitu “Islam-Zionisme”. Sangatlah sulit, dan mungkin mustahil, untuk benar-benar memisahkan aspek agama dari konflik ini. Baik Muslim maupun Yahudi percaya bahwa Al-Aqsa dan area di sekitarnya adalah tempat suci, dan bahwa mengunjungi tempat tersebut dan berdoa di dalamnya adalah hal yang dianjurkan oleh agama.
Nimrod Luz menggambarkan Masjid al-Aqsa sebagai fenomena “glocalization”. Ini karena lokasinya sebagai kiblat pertama umat Islam, tempat Nabi Muhammad Mi’raj, pembebasan Umar bin Khattab, tempat al-Ghazali merenung, dan perjuangan Shalahuddin Al Ayubi. Hal ini menghidupkan kembali ingatan dan emosi umat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, umat Islam di seluruh dunia merasa perlu berpartisipasi dan berkolaborasi untuk mendukung al-Haram al-Syarif ketika ada perselisihan tentangnya.
Namun, media, opini publik dan pihak-pihak lain bersikeras bahwa ini adalah konflik Arab, dan berusaha mengecilkan realitas pentingnya tempat tersebut bagi umat Islam. Fakta ini tidak boleh kita lupakan—hal ini dilakukan dengan sengaja agar tidak menyulut emosi lebih dari satu miliar umat Islam dan membatasi perasaan umat secara kolektif, dengan mencoba membatasinya pada lingkup Arab atau bahkan mereduksinya menjadi masalah Palestina.
Jika bangsa Arab benar-benar ingin membebaskan Al-Aqsa dari penindasan, mereka harus mundur dan membingkai ulang konflik tersebut dengan cara yang benar. “Nasionalisme Arab” adalah alasan mengapa umat Islam mengalami kekalahan yang memalukan dalam peperangan sebelumnya. Mitos nasionalistik inilah yang membuat dunia Islam terpecah-pecah oleh batas teritorial. Umat Islam dipaksa hanya terfokus pada persoalan lokalitas semata. Mereka kehilangan visi universalnya karena disibukkan dengan urusan dalam negeri.
Jika kita masih menggaungkan nasionalisme Arab, maka percayalah, kita akan terus mengalami kekalahan—kecuali jika Islam mengambil alih kembali tempat yang semestinya sebagai pusat emosi kolektif. Mengapa kita enggan untuk mengadopsi perjuangan Islam ketika Israel tanpa malu-malu membingkai klaimnya atas tanah Palestina sebagai bagian dari keyakinan dan kepercayaannya?
Bagi Anda yang ingin membela Palestina atasnama kemanusiaan, silakan saja. Tidak perlu ragu. Namun, bagi umat Islam, agar energi kolektif kita tidak dihabiskan dengan perkara-perkara furuk warisan perdebatan fukuha ratusan tahun yang lalu, lebih baik pusatkan perhatian kita pada masalah yang riil dan di depan mata. Kemerdekaan Palestina adalah tanggungjawab seluruh umat Islam di dunia.
Umat Islam sepenuhnya menerima kesucian Yerusalem bagi agama Yahudi dan Kristen. Dengan tegas percaya bahwa semua agama harus memiliki akses ke Tanah Suci untuk mempraktikkan akidah dan ibadah mereka dengan cara yang bebas dan aman. Ketika Umar bin Khattab tiba di Yerusalem, ia menandatangani sebuah perjanjian dengan Patriark Yerusalem yang beragama Kristen, Sophronius.
Bahkan, ketika Yerusalem berada di bawah kekuasaan Muslim pada masa Khalifah Umar, orang-orang Yahudi akhirnya diizinkan masuk ke kota itu setelah dilarang masuk pada masa Romawi. Salmon ben Yeruhim, salah satu cendekiawan Yahudi yang tinggal di Yerusalem pada saat itu, mengatakan bahwa selama lebih dari 500 tahun kekuasaan Romawi umat Yahudi tidak berhasil memasuki Yerusalem. Setelah Islam menguasai tanah ini, mereka diizinkan untuk datang dan tinggal.
Pembongkaran proyek Zionis tidak akan berhasil di bawah naungan nasionalisme Arab, yang jika dilihat dari intinya, mirip dengan Zionisme dalam hal kecenderungan rasialnya. Kedua ideologi tersebut bersifat rasis, fondasinya didasarkan pada ras tertentu. Zionisme percaya bahwa tanah Palestina hanya untuk orang Yahudi, dan orang lain hanya bisa tinggal di sana sebagai warga negara kelas dua. Demikian pula, nasionalisme Arab memprioritaskan nasib orang Arab di tanah leluhur mereka, lebih memilih orang Arab daripada non-Arab.
Di sisi lain, Islam mengutamakan keadilan, menjaga martabat semua orang tanpa memandang agama, ras, atau etnis mereka. Sebagai Muslim, kita harus memahami bahwa satu-satunya solusi adalah dengan sepenuh hati mewujudkan ajaran agama kita dan bergerak melewati ras atau negara-bangsa, membingkai konflik dalam cahaya yang sebenarnya, yaitu: perjuangan Islam.